Semasa ABG dulu, saya cukup hafal judul lagu yang sekarang saya jadikan judul tulisan ini. Kira-kira artinya, "Ngapain tetap saja kamu mau bekerja di majikanmu padahal kamu membencinya?" he... he... he... Ini memang terjemahan bebas, bukan leterlek, terutama ingin saya kaitkan dengan fenomena TKI di Arab Saudi.
Ada beda antara "kritik" dan "krutuk." Kata yang pertama, kita sudah cukup familiar di era keterbukaan ini, setiap orang dijamin kebebasannya untuk memberi kritik (tanggapan, pendapat, dsb). Meskipun, ada beberapa negara atau orang tertentu tidak suka dikritik sehingga dibuatlah undang-undang semacam subversif atau memberikan sanksi kepada pegawai yang kritis kepada perusahaan tempat dia bekerja.
Ada beda antara "kritik" dan "krutuk." Kata yang pertama, kita sudah cukup familiar di era keterbukaan ini, setiap orang dijamin kebebasannya untuk memberi kritik (tanggapan, pendapat, dsb). Meskipun, ada beberapa negara atau orang tertentu tidak suka dikritik sehingga dibuatlah undang-undang semacam subversif atau memberikan sanksi kepada pegawai yang kritis kepada perusahaan tempat dia bekerja.
Seseorang melontarkan kritik karena dua motivasi; karena rasa sayang dan ingin terjadi perubahan yang lebih baik atau karena dengki, benci, hasud, sehingga karena ketidakmampuannya maka dia berlagak kritis padahal menggerutu alias "krutus." Jika faktor pertama yang melandasinya, maka ini perlu didengar, ditampung, dan dipertimbangkan. Hanya orang-orang yang merasa dirinya sempurna saja anti kritik. Oleh karenanya, ada istilah "kritik yang membangun." Kalau kritikan tersebut adalah tanggapan, pendapat yang dapat membuat maju, why rejected?
Kata yang kedua, "krutuk," ini asalnya dari bahasa Jawa (Jowo, Timur dan Tengah, bukan Jawa Barat yang Sunda). Tipe orang yang sering "ngrutuk" ini sebagaimana kita mengerti dalam bahasa Indonesia, yang selalu mengeluh atau "galau" dalam bahasa "alay" yang sedang ngetrend saat ini. Sikap demikian biasanya dimotivasi karena kekurangpuasan, ketidakmampuan, dan yang sejenisnya, yang identik berkonotasi negatif.
Nah, judul lagu ini "Why Do You Look at Me When You Hate Me?" pantas diartikan "Ngapain tetap saja kamu mau bekerja di majikanmu padahal kamu membencinya?" bagi tipe orang yang menggunakan kata kedua; selalu "krutuk"....
Sebagian dari TKI dengan gentle menyampaikan kritiknya (baca: nasehat) terhadap sesuatu yang tidak bersesuaian dengan pendapatnya secara langsung kepada majikannya. Seperti cerita seorang rekan sawwaq, dia berani menolak menyopiri madam karena tiba waktu shalat berjama'ah di masjid. "al-hiin waqt sholaah madaam, ruuh ba'din.... inti maa fiih khouf Allah...?" begitu kira-kira dengan semangat dakwah.
Tetapi ada juga lontaran kekesalannya dilampiaskan begitu selesai mengantar misywar madam-nya, saat kumpul-kumpul tengah malam bersama sawwaq lainnya sambil ngudud: "Dasar onta....! Gak tau waktu shalat, masak waktu adzan ta'aal... ta'aal...!" Padahal, si sawwaq itu sendiri gak pernah ke masjid.
Tetapi ada juga lontaran kekesalannya dilampiaskan begitu selesai mengantar misywar madam-nya, saat kumpul-kumpul tengah malam bersama sawwaq lainnya sambil ngudud: "Dasar onta....! Gak tau waktu shalat, masak waktu adzan ta'aal... ta'aal...!" Padahal, si sawwaq itu sendiri gak pernah ke masjid.
Dua karakter di atas, contoh sederhana yang dapat memisahkan batas antara "kritik" dan "krutuk." Di mana posisi kita?
Suatu ketika, ada pertanyaan seorang TKI rumahan kepada Ustadz penceramah: "Ustadz, bagaimana hukumnya meninggalkan shalat berjama'ah karena memenuhi panggilan majikan?" Sang Ustadz menjawab dengan sebuah tips: "Setelah duduk di masjid menunggu iqamah shalat, jawwal-nya dimatikan, jadi jama'ah di masjid tidak terganggu jika ada telpon masuk dan bapak tidak akan dengar panggilan ta'aal.. ta'aal...." Berani coba? .... :-) .....
Ada juga yang kurang bersyukur, merasa apa yang diterimanya masih kurang dan kurang. Ada cerita seorang sawwaq lagi, dia menilai kafil-nya pelit setengah mati, gak pernah ngasih uang. Tapi di sisi lain, dia diberi kelapangan waktu bebas dari segala pekerjaan setelah selesai mengantar kerja madam-nya jam 2 siang. Dan, kalau malam, istrinya yang juga TKW di kafil yang sama, bisa sekamar bersama setiap malam dan sering membawakan makanan dari dalam rumah majikan. 'Ajibnya lagi, pasangan TKI/W ini sudah 3 kali liburan dan kembali ke majikan yang dikatakan pelit dan sering di-ghibah-nya tersebut. Jadi, nikmat apa yang didustakan olehnya?
Di sisi lain, sering kita dapati betapa telinga manusia sangat tebal, merasa sangat sempurna, sehingga meremehkan sesuatu yang dianggap kecil secara dzahir, tetapi subtansinya sangat berperan besar. Kita dapati ini dalam model struktur leadership top-down, meskipun ini banyak terjadi dalam hubungan patriatik (patriarchy), seperti antara baba dan sawwaq. Dalam lembaga negara, biasa disebut sebagai dictatorship.
Karena ke-jumawa-annya, seseorang berada di posisi top, memandang yang di bawahnya, sebagai objek instruksional, jauh dari sistem bottom-up sebagaimana dalam doktrin agama. Ketika kritik muncul, dalam bentuk apapun, munculah reaksioner yang sejatinya menunjukkan kualitas dirinya yang sesungguhnya sekaligus menjatuhkan muruah-nya.
Memang, telah ada kaidah yang mengatur tentang "kritik" ini, tetapi dipastikan tidak ada justifikasi untuk "krutuk." Boleh jadi berbeda-beda dalam standarisasi-nya, tetapi ada nilai-nilai universal sekaligus fundamental yang idealnya dijadikan rambu-rambu primordial, yaitu agama. Sebesar pemahamannya atas agama, sebesar itu pula sebuah penyikapannya.
Semoga, kita bukan termasuk TKI yang "makan sesuatu yang kita cela" sehingga kita tidak termasuk yang muflish. "Why do you hate it when you do for it?" Allahu'alam.[]
Suatu ketika, ada pertanyaan seorang TKI rumahan kepada Ustadz penceramah: "Ustadz, bagaimana hukumnya meninggalkan shalat berjama'ah karena memenuhi panggilan majikan?" Sang Ustadz menjawab dengan sebuah tips: "Setelah duduk di masjid menunggu iqamah shalat, jawwal-nya dimatikan, jadi jama'ah di masjid tidak terganggu jika ada telpon masuk dan bapak tidak akan dengar panggilan ta'aal.. ta'aal...." Berani coba? .... :-) .....
Ada juga yang kurang bersyukur, merasa apa yang diterimanya masih kurang dan kurang. Ada cerita seorang sawwaq lagi, dia menilai kafil-nya pelit setengah mati, gak pernah ngasih uang. Tapi di sisi lain, dia diberi kelapangan waktu bebas dari segala pekerjaan setelah selesai mengantar kerja madam-nya jam 2 siang. Dan, kalau malam, istrinya yang juga TKW di kafil yang sama, bisa sekamar bersama setiap malam dan sering membawakan makanan dari dalam rumah majikan. 'Ajibnya lagi, pasangan TKI/W ini sudah 3 kali liburan dan kembali ke majikan yang dikatakan pelit dan sering di-ghibah-nya tersebut. Jadi, nikmat apa yang didustakan olehnya?
Di sisi lain, sering kita dapati betapa telinga manusia sangat tebal, merasa sangat sempurna, sehingga meremehkan sesuatu yang dianggap kecil secara dzahir, tetapi subtansinya sangat berperan besar. Kita dapati ini dalam model struktur leadership top-down, meskipun ini banyak terjadi dalam hubungan patriatik (patriarchy), seperti antara baba dan sawwaq. Dalam lembaga negara, biasa disebut sebagai dictatorship.
Karena ke-jumawa-annya, seseorang berada di posisi top, memandang yang di bawahnya, sebagai objek instruksional, jauh dari sistem bottom-up sebagaimana dalam doktrin agama. Ketika kritik muncul, dalam bentuk apapun, munculah reaksioner yang sejatinya menunjukkan kualitas dirinya yang sesungguhnya sekaligus menjatuhkan muruah-nya.
Memang, telah ada kaidah yang mengatur tentang "kritik" ini, tetapi dipastikan tidak ada justifikasi untuk "krutuk." Boleh jadi berbeda-beda dalam standarisasi-nya, tetapi ada nilai-nilai universal sekaligus fundamental yang idealnya dijadikan rambu-rambu primordial, yaitu agama. Sebesar pemahamannya atas agama, sebesar itu pula sebuah penyikapannya.
Semoga, kita bukan termasuk TKI yang "makan sesuatu yang kita cela" sehingga kita tidak termasuk yang muflish. "Why do you hate it when you do for it?" Allahu'alam.[]
I HATE U BUT I MISS U....
ReplyDelete