TKI Juga Manusia

"Jika mendengat kata TKW/TKI fikiran apa yang pertama kali muncul? Apa pendapat teman-teman tentang mereka...?"

"Merasa iba n kasihan, karna mereka sebagai devisa negara harusnya dilindungi tapi sering kenyataan mereka terabaikan, hidup dan nyawanya slalu menjadi taruhannya. Kalau mau dibilang kenapa mereka tidak mencari kerja di negri sendiri... kasian juga lapangan kerja yang disediakan pemerintah tidak cukup n penghasilannya juga tidak sesuai.... padahal kebutuhannya banyak, tanggungannya juga besar n berat..."

Itulah pertanyaan dan jawaban yang terekam dalam Yahoo Answer di http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20120131173634AAFag2X.

Apakah Anda setuju jawaban di atas? 

Saya mempunyai beberapa catatan (ta'liqat) atas jawaban di atas. 

Pertama, tidak perlu iba dan kasihan, karena kami sama seperti manusia pada umumnya, hidup dan bekerja. Hanya saja takdir mengatakan kami harus bekerja jauh dari sanak saudara dan tanah kelahiran. Adapun tentang perlindungan terhadap kami, sejatinya, diri kamilah yang pertama kali harus melindungi diri kami sendiri. Karena kami laki-laki yang sama mempunyai harga diri, kehormatan dan agama yang harus dijunjung tinggi. Resiko kerja, di mana saja sama, di kampung, di kota, di dalam atau luar negeri. Yang membedakan, bagaimana kita menyikapi dan selalu berpikir sebelum bertindak. Adapun wanita yang bekerja seperti kami, apalagi di luar negeri, memang bukan kodratnya untuk melakukan kewajiban seorang laki-laki. Ketika kodratnya dilanggar, maka terjadilah sebagaimana yang sering kita dengar berita buruk tentang TKW.

Kedua, kesempatan kerja di negeri sendiri bukanlah tidak ada sama sekali. Tetapi kami tahu diri, kemampuan, latar belakang pendidikan, dan hal-hal teknis lain yang membuat kami tidak kami dapat bekerja di posisi yang diinginkan kebanyakan orang. Jika pun bekerja tanpa mencari-mencari pekerjaan ke orang lain (baca: mandiri), sejatinya lapangan pekerjaan selalu terbuka. Hanya saja, kami pergi merantau menjadi TKI, bukan hanya karena alasan pekerjaan semata, banyak faktor, dari hal yang sifatnya pribadi hingga curiosity atau mencari pengalaman, dan seterusnya. 

Ketiga, antara pasak dan tiang, penghasilan dan kebutuhan hidup, bukanlah dilihat dari berapa besar yang didapat dan berapa banyak yang dibutuhkan. Karena, sesuatu yang dibutuhkan, pasti akan terjangkau dan dapat diraih. Hanya sering saja, kita mengatakan seuatu "keinginan" dianggap "kebutuhan." Bersikap sederhana (qona'ah) adalah kuncinya, selain selalu berikhtiar dan berdoa tiada henti untuk diberi yang terbaik, bukan sekedar mencari penghasilan yang sebanyak-banyaknya. Apalah arti penghasilan besar tetapi hati dan pikiran tidak tenang. Apalah arti tangungan sedikit, tetapi harus memenuhinya melupakan tanggung jawab kepada sang Khalik?  

"Kekayaan tidaklah diukur dengan banyaknya harta, namun kekayaan yang hakiki adalah kekayaan hati." (HR. Bukhari dan Muslim; dari Abu Hurairah)

"Beruntunglah orang yang berislam, dikaruniai rezeki yang cukup, dan dia dijadikan menerima apa pun yang dikaruniakan Allah (kepadanya)." (HR. Muslim; dari Abdullah bin 'Amr)

"Barangsiapa yang melewati harinya dengan perasaan aman dalam rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan ia telah memiliki dunia seisinya." (HR. Tirmidzi; dinilai hasan oleh Al-Albani).

No comments:

Post a Comment